OPINI
Menata Pola Penanggulangan Bencana di Indonesia
Oleh: Hanief Adrian*
Banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akhir November 2025 menjadi pengingat betapa rentannya ekosistem Sumatera ketika tekanan terhadap lingkungan sudah melewati batas yang dapat ditanggung.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan dampak yang luar biasa besar mencakup 971 korban jiwa, 252 orang masih hilang, lebih dari lima ribu warga luka-luka, hampir 900 ribu orang terpaksa mengungsi, dan total lebih dari 3,3 juta jiwa merasakan langsung dampaknya.
Pada saat yang sama, ada 157,4 ribu rumah rusak berat hingga hilang tersapu banjir, seribu dua ratus fasilitas umum rusak, 219 fasilitas kesehatan lumpuh, ratusan sekolah dan rumah ibadah tidak lagi berfungsi, serta 498 jembatan putus.
Kerugian ekonomi telah mencapai puluhan triliun rupiah dan masih akan bertambah seiring pendataan yang terus berjalan.
Bencana ini memang dipicu cuaca ekstrem, tetapi rangkaian temuan lapangan memperlihatkan bahwa kerusakan lingkungan menjadi faktor yang memperparah daya rusak banjir dan longsor.
Degradasi hutan, kerentanan daerah aliran sungai, serta ekspansi perkebunan dan pertambangan mempercepat keruntuhan struktur ekologis di Bukit Barisan.
Kawasan yang selama ini menjadi penyangga vital bagi jutaan warga itu kini menghadapi tekanan yang membuat banyak wilayah kehilangan kemampuan alaminya untuk meredam risiko. Situasi inilah yang menuntut pendekatan komprehensif, bukan hanya respons darurat.
Untuk memahami persepsi publik terhadap penanganan bencana, GREAT Institute melakukan analisis percakapan warganet menggunakan big data. Hasilnya memperlihatkan dominasi sentimen negatif yang meningkat drastis sejak hari-hari pertama bencana terjadi.
Keluhan publik paling banyak terkait lambatnya distribusi bantuan, ketidaksiapan sarana evakuasi, serta pernyataan sejumlah pejabat yang dinilai kurang selaras dengan fakta di lapangan.
Kekecewaan publik dalam ruang digital ini bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi menjadi indikator penting bagaimana masyarakat menilai kapasitas negara dalam menghadapi krisis berskala besar.
Meski demikian, big data juga menunjukkan ruang optimisme yang muncul setelah kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke sejumlah lokasi terdampak. Kehadiran Presiden di tengah para penyintas dipandang publik sebagai bentuk komitmen dalam memastikan negara benar-benar hadir.
Namun, apresiasi ini tidak mengurangi kebutuhan akan langkah yang lebih sistematis untuk menjawab tantangan pemulihan jangka panjang. Kecepatan respons awal tetap menjadi sorotan dan mempengaruhi tingkat kepuasan publik secara keseluruhan.
Satgas Pemulihan Bencana
Dalam situasi sebesar ini, masyarakat menunggu pola kepemimpinan yang terkoordinasi, berbasis data, dan mampu memberikan arah yang jelas.
Dari dinamika inilah GREAT Institute menilai perlunya langkah struktural yang mampu menghimpun kekuatan pemerintah secara terpadu.
Rekomendasi yang muncul adalah pembentukan Satgas Pemulihan Bencana Sumatera melalui Keputusan Presiden. Satgas ini tidak hanya berfungsi menangani dampak bencana secara cepat dan menyeluruh, tetapi juga memainkan peran penting dalam memulihkan kepercayaan publik terhadap efektivitas kebijakan negara.
Bencana dengan skala kerusakan seperti ini membutuhkan konsentrasi sumber daya nasional yang tidak dapat berjalan optimal tanpa kerangka koordinasi khusus.
Satgas yang diusulkan terdiri atas dewan pengarah yang melibatkan sejumlah menteri sektoral dan lembaga terkait, dengan BNPB sebagai leading sector sesuai mandat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Kerangka normatif ini penting, namun intensitas bencana tahun ini memerlukan penguatan kelembagaan yang memungkinkan mobilisasi cepat lintas kementerian dan lembaga.
Tantangan pemulihan bukan hanya membangun kembali infrastruktur, tetapi juga memastikan layanan kesehatan pulih, sekolah kembali berfungsi, ruang ibadah dapat digunakan, dan aktivitas ekonomi masyarakat dapat berjalan lagi. Semua ini memerlukan arsitektur komando yang kuat dan jelas.
Komitmen Presiden yang telah menyatakan bahwa penanganan bencana Sumatera merupakan prioritas nasional perlu diwujudkan dalam instrumen yang memberikan kepastian.
Pernyataan politik akan mendapatkan bobot yang lebih kuat ketika dijabarkan dalam kebijakan operasional yang mampu menggerakkan birokrasi secara terpadu.
Dengan demikian, kehadiran Satgas bukan hanya simbol, tetapi mekanisme nyata yang mempercepat pemulihan dan mengurangi ketidakpastian di masyarakat.
Berjalan Harmonis
Penting juga memastikan tata kelola anggaran berjalan transparan dan akuntabel. Menteri Keuangan Purbaya telah menyampaikan bahwa pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp4 miliar untuk 50 kabupaten terdampak dan total dana sebesar Rp60 triliun tersedia untuk kebutuhan penanganan bencana.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana memastikan alokasi tersebut cukup tidak hanya untuk penanganan darurat, tetapi juga pemulihan jangka panjang.
Selain itu, masyarakat telah menunjukkan solidaritas luar biasa melalui penggalangan dana dan penyaluran bantuan, sehingga koordinasi antara negara dan masyarakat sipil menjadi kunci untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya yang tersedia.
Satgas lintas kementerian dan lembaga dapat menjadi pusat kendali yang memastikan semua alur kerja pemulihan berjalan harmonis.
Dari rekonstruksi infrastruktur hingga rehabilitasi sosial, dari pemulihan layanan publik hingga restorasi lingkungan, semua langkah ini membutuhkan manajemen terpadu agar tidak berjalan parsial atau tumpang tindih.
Keberadaan Satgas memberi sinyal kuat bahwa pemerintah mengambil pendekatan jangka panjang, tidak sekadar reaktif.
Pemulihan Sumatera tidak hanya tentang membangun kembali bangunan fisik, tetapi juga memulihkan kepercayaan, memperkuat resiliensi masyarakat, dan menata ulang tata kelola lingkungan agar kejadian serupa tidak lagi terulang dengan skala sedahsyat ini.
Tragedi ini harus menjadi titik balik untuk memperbaiki sistem mitigasi, memperkuat pemantauan ekosistem, serta memastikan perlindungan kawasan-kawasan strategis ekologis berjalan efektif.
Ketika pemerintah bergerak cepat dan terkoordinasi, masyarakat mendapatkan sinyal bahwa negara hadir tidak hanya pada saat bencana, tetapi juga dalam perjalanan panjang menuju pemulihan.
Bencana besar selalu membawa duka, tetapi juga membuka ruang untuk memperbaiki diri. Sumatera membutuhkan kepemimpinan yang memberi harapan, menggerakkan solidaritas, dan menghadirkan arah pemulihan yang jelas.
Dengan membentuk Satgas Pemulihan Bencana Sumatera, pemerintah dapat menunjukkan bahwa tragedi ini menjadi momentum untuk membangun kembali dengan lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih berkeadilan bagi semua warga.
*) Kepala Desk Politik GREAT Institute
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY