OPINI

Pertentangan Perpol Polisi Aktif Isi 17 Kementerian dengan UU Polri

ILUSTRASI jenderal Polri. Foto: Kumparan
ILUSTRASI jenderal Polri. Foto: Kumparan
Oleh Soleman B Ponto

TERBITNYA Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 memicu diskusi publik yang luas. Peraturan ini mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian dan secara eksplisit membuka ruang bagi polisi aktif untuk mengisi jabatan di 17 kementerian dan lembaga negara. 

Pada saat yang sama, terdapat norma hukum yang sangat jelas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 28 ayat (3) menyebutkan: “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”

Secara hukum, ketentuan ini bersifat limitatif dan mengikat. Artinya, hanya ada dua kondisi yang membolehkan anggota Polri menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, yakni setelah mengundurkan diri atau memasuki masa pensiun. Tidak ada ruang tafsir lain di luar dua syarat tersebut.


Norma ini disusun untuk menjaga profesionalisme Polri, membatasi irisan antara ranah sipil dan kepolisian, mencegah konflik kepentingan, serta menghindari tumpang tindih kewenangan. Dengan demikian, anggota Polri aktif sejatinya tidak memiliki legal standing untuk menduduki jabatan di kementerian atau lembaga negara mana pun. 

Namun, Perpol 10/2025 justru membuka ruang tersebut. Dalam peraturan ini, anggota Polri aktif dapat ditempatkan di 17 kementerian dan lembaga, mulai dari Kemenko Polhukam, Kementerian ESDM, Kemenkumham, Imigrasi dan Pemasyarakatan, KLHK, KKP, Kemenhub, BP2MI, ATR/BPN, Lemhannas, OJK, PPATK, BNN, BNPT, BIN, BSSN, hingga KPK.

Secara normatif, ketentuan ini bertentangan langsung dengan Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian. Perpol telah memperluas kewenangan Polri melampaui batas yang ditetapkan undang-undang. Dalam teori hukum, kondisi ini dikenal sebagai pelanggaran hierarki norma, yang ditegaskan dalam asas lex superior derogat legi inferiori, di mana peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.


Pertentangan tersebut semakin jelas jika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Dalam putusan itu, Mahkamah menegaskan bahwa fungsi kepolisian hanya boleh dijalankan dalam struktur organisasi Polri. Penugasan anggota Polri ke luar struktur berpotensi menimbulkan dualisme komando dan karenanya tidak dibenarkan.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Semua lembaga negara, termasuk Polri, wajib tunduk dan melaksanakannya. Dengan demikian, Perpol 10/2025 tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga mengabaikan putusan pengadilan konstitusi.

Implikasi dari kebijakan ini tidak sekadar administratif. Secara akademik dan tata kelola negara, terdapat sejumlah persoalan mendasar. Pertama, munculnya dualisme komando. Polisi aktif yang bekerja di kementerian atau lembaga berada di bawah dua garis komando sekaligus, yakni komando struktural Polri dan komando pimpinan kementerian atau lembaga. 


Dalam teori organisasi publik, dualisme komando merupakan salah satu sumber utama kegagalan tata kelola pemerintahan. Kedua, kaburnya batas antara fungsi sipil dan kepolisian. Kepolisian adalah institusi yang menjalankan coercive power atau kekuatan koersif negara. Ketika polisi aktif masuk ke ranah kebijakan sipil, terdapat risiko terganggunya objektivitas birokrasi, pengaburan kewenangan, serta meningkatnya potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Ketiga, tergerusnya prinsip negara hukum. Kepatuhan aparat penegak hukum terhadap undang-undang merupakan fondasi utama rule of law. Ketika sebuah peraturan internal justru bertentangan dengan undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi, kepercayaan publik akan melemah, supremasi hukum terganggu, dan preseden buruk terbentuk bagi lembaga negara lainnya.

Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian secara tegas melarang polisi aktif menduduki jabatan di luar struktur kepolisian. Perpol 10/2025 justru memperbolehkan hal yang secara eksplisit dilarang oleh undang-undang. Secara formil dan materiil, peraturan ini bermasalah. Lebih jauh, ia juga bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114 yang menegaskan prinsip satu struktur dan satu komando fungsi kepolisian.

Persoalan Perpol 10/2025 bukan sekadar soal teknis penugasan. Ia menyentuh jantung integritas sistem hukum, tata kelola pemerintahan, dan kualitas demokrasi di Indonesia. Memahami persoalan ini secara jernih adalah prasyarat agar kebijakan negara tidak melenceng dari prinsip negara hukum yang seharusnya dijaga bersama. (*)

Catatan tambahan: Penulis adalah Purnawirawan Laksamana Madya TNI Angkatan Laut.